psiaceh.or.id/ – Dua Eks Aktivis mahasiswa 1998 yang saat ini menjadi Anggota DPR RI dari Fraksi Nasdem Wili Aditya dan Taufik Basari jadi pembicara dalam diskusi Potret Politik Indonesia.
Diskursus tersebut mengangkat topic “Refleksi 25 tahun pasca reformasi Indonesia” yang dimoderati oleh Ketua DPD Ikadin Lampung, bertempat di The Coffe, Pahoman, Selasa (06/06/2022).
Dalam kesempatan tersebut Wili mengatakan, jika ingin belajar gerakan maka belajar dari Lampung.
Melihat gerakan mahasiswa, ia melihat terjadi pemisahan antara realitas kampus dengan organisasi ekstra mahasiswa.
[elementor-template id=”13″]
“Melalui NKK/BKK Pemerintah memisahkan organisasi ekstra dari realitas kampus. Makanya timbul UKM mahasiswa, yang hanya mengakomodir skil-skil bukan pemikiran,” kata dia.
Organisasi ekstra, terangnya, adalah produk parpol. Soekarno dan Hatta menyadari bahwa kepemimpinan kedepan harus diisi oleh aktivis mahasiswa.
“Makanya Bung Karno dan Bung Hatta mendorong agar organisasi mahasiswa dan kepemudaan terbentuk, seperti organisasi-organisasi yang tergabung dalam Cipayung+ hari ini,” lanjutnya.
Saat berbicara gerakan 1998, menurutnya gerakan tersebut sudah lama terbangun.
[elementor-template id=”11″]
Ia menilai gerakan 98 terjadi, karena bertemunya dua krisis sekaligus. Yakni krisis ekonomi dan krisis politik.
Saat itu, lanjutnya, aksi demontrasi merupakan sebuah pilihan utama untuk menggulingkan rezim Soeharto.
“Meski aktivis mahasiswa berhasil melengserkan Soeharto, hanya sebagian aktivis yang masuk lingkaran kekuasaan. Jika saja aktivis mahasiswa memiliki semangat mengisi pos-pos strategis di pemerintahan saat itu, maka demokrasi tidak akan bobrok seperti ini,” paparnya kepada audiens yang banyak dihadiri oleh aktivis mahasiswa.
Berbicara perubahan, kata dia, selalu membutuhkan ilmu pengetahuan. Tidak ada revolusi di kolong langit ini tanpa pengetahuan.
[elementor-template id=”13″]
Ia turut mengutip peryataan salah seorang ilmuan Covernicus yang berkata perubahan selalu terdorong oleh pengetahuan dan keberanian.
Sementara itu, Taufik Basari, ia memulai pembicaraannya dengan menggarisbawahi yang disampaikan oleh Wili, karena keduanya sempat belajar mengorganisir gerakan di Lampung.
Semasa ia menjadi mahasiswa, aktivis terkesan elitis. Merasa hebat, sombong, dan dekat dengan kekuasaan. Gerakan sebelum 1998 masih terkesan elitis.
Ketika terus bergulir. Problem Kuda tuli 1996, Mega bintang, penghilangan paksa, dan masalah lain-lain barulah puncaknya terjadi pada 1998.
Gerakan 1998, merupakan gerakan yang mengikat gerakan-gerakan terpisah. Di Universitas Indonesia (UI) Januari 1998 menjadi awal mula sebuah gerakan universitas hingga lintas kampus terbangun.
[elementor-template id=”11″]
Kesepemahan gerak tersebut, dengan cepat mengalir hingga ke kampus-kampus di daerah. Gerakan mahasiswa pun akhirnya menemukan visi bersama.
Menurutnya, saat aktivis 98 berhasil menumbangkan Soeharto, aktivis mengalami kebingungan.
Gerakan bersama yang terbagun sebelumnya, selepas 98, aktivis-aktivis mahasiswa balik kandang, pulang ke porosnya masing-masing.
Ia mendorong agar komunikasi antailintas gerakan terbangun dan juga lintas generasi. Kita tidak boleh melupakan sejarah, kita harus belajar darinya. Apa lagi gerakan 98, merupakan pelajaran penting bagi gerakan rakyat.
Saat ini, ia melihat Indeks demokrasi mengalami penurunan. Untuk itu diskusi-diskusi semacam ini penting, untuk membangkitkan kembali demokrasi.
[elementor-template id=”11″]
Jika demokrasi semakin mengarah kedaruratan maka tak ada kata lain selain Lawan.
Keberpihakan menjadi penting.
Ketika mendapatkan posisi. Keberpihakan terhadap hak asasi manusia. Setelah memiliki keberpihakan baru memulai jalan untuk mewujudkannya.
Melihat program kampus merdeka saat ini, ia menilai harus liberal. Karena ruangnya tarung argumentasi dan pemikiran-pemikiran.
Pendidikan hari ini, menurutnya hanya menjadi komoditas, yang memproduksi tenaga kerja. Mengikuti perputaran industri. (sandika)







Leave a Reply