psiaceh.or.id/ – Disatu sisi, perempuan kerap mengelu-elukan ruang dan kedudukan yang setara dengan laki-laki. Namun, disaat bersamaan, ketika ruang yang mengakomodir peran serta perempuan terbuka, partisipasinya tak nampak didepan mata.
Hal tersebut terlihat pada lembaga penyelenggara Pemilu, terkhusus di masa pendaftaran calon anggota Bawaslu. Bukan saja ditingkat Provinsi melainkan juga ditingkat kabupaten/kota se-Lampung.
Ihwal itu dibenarkan oleh Ketua Pengurus Wilayah (PW) Rumah Perempuan dan Anak (RPA) Lampung, Eny Puji Lestari, beberapa waktu yang lalu.
Menurut Eni, problem minimnya keterwakilan perempuan pada lembaga penyelenggara Pemilu bukanlah suatu soal yang baru. Bukan saja Bawaslu tetapi juga di KPU.
"Pada tahun-tahun sebelumnya keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara Pemilu memang sedikit kok," terang Eni kepada psiaceh.or.id/.
[elementor-template id="11"]
Melihat persoalan minimnya keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara Pemilu, terang Eni, bukanlah sebuah soal, dengan mengucap bim-selabim problem ini bisa teratasi begitu saja.
Ia menilai, perlunya program khusus untuk meningkatkan partisapasi perempuan. Ia mengajak berbagai pihak, untuk mencari solusi dari permasalahan tersebut.
Beberapa tahun sebelumnya RPA terlibat kerjasama dengan Bawaslu Lampung untuk memberi ruang edukasi bagi perempuan, agenda tersebut menargetkan siklus peningkatan partisipasi perempuan.
Namun, lanjut Eni, program tersebut tidak berlangsung lama. Ia menganggap program tersebut perlu dilanjutkan kembali dan bisa dilaksanakan secara continue, agar upaya peningkatan partisipasi perempuan menemui titik terang.
Terpisah, Direktur Eksekutif Perkumpulan Damar Lampung Eka Tiara menyorot Regulasi 30 persen keterwakilan perempuan terkhusus pada lembaga penyelenggara Pemilu.
[elementor-template id="13"]
Menurutnya regulasi tersebut tidak akan cukup meningkatkan peran perempuan di ruang publik, sementara Budaya Partriarki ditengah masyarakat sudah mengakar.
Ia berpendapat, ada anggapan dimata perempuan untuk tidak terjun di ranah-ranah publik, bagi mereka, ruang publik tersebut hanya diperuntukkan untuk laki-laki.
Hal ini, terang Eka, menjadi tanggung jawab bersama untuk mengadvokasi perempuan agar minimnya keterwakilan perempuan bisa teratasi.
Selain itu, Eka juga menyorot Regulasi 30 persen keterwakilan perempuan yang hanya diberlakukan semasa pendaftaran.
"30 persen keterwakilan perempuan itu kan, hanya ditetapkan semasa pendaftaran. Jadi kuota pendaftar perempuan harus memenuhi 30 persen dari total keseluruhan pendaftar," kata Eka, Kamis (15/06/2023).
[elementor-template id="13"]
[elementor-template id="11"]
Seharusnya, lanjut Eka, 30 persen keterwakilan perempuan itu sampai ia ditetapkan menjadi Komisioner. Jadi bila kursi komisioner yang dibutuhkan 7 (Provinsi) maka terdapat 2 perempuan yang menjadi komisioner.
Bila perlu regulasi rekrutmen anggota Bawaslu, ada bagian khusus untuk pendaftar perempuan. Dengan begitu keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara Pemilu menjadi sebuah keniscayaan.
Ia menilai, regulasi saat ini yang menggabungkan laki-laki dan perempuan dengan mekanisme point, tidak menguntungkan perempuan. Perempuan memiliki banyak batasan, sehingga akan sulit menyaingi point laki-laki.
Sementara itu, Aktivis perempuan Lampung, Diana Berliyani mengatakan, meski terdapat regulasi yang membuka peran perempuan, kemampuan perempuan juga perlu ditingkatkan.
Ketua PMII Kopri Cabang Bandarlampung itu menilai, jika keterlibatan perempuan hanya formalitas dan administrasi saja, seperti regulasi 30 persen keterwakilan perempuan, tetapi tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas pada diri perempuan, maka hanya akan menambah sebuah persoalaan baru.
[elementor-template id="13"]
[elementor-template id="11"]
"Jika perempuan tidak memiliki kemampuan mumpuni, kaum perempuan tetap akan dipandang sebelah mata, dan tidak membawa dampak apa-apa," ungkap Diana.
Menurutnya jika perempuan memiliki kapasitas, maka dengan otomatis akan mengisi posisi-posisi strategis di ruang publik.
Namun, terang Diana, peningkatan kualitas perempuan bukanlah perkara mudah. Apalagi melihat perempuan-perempuan yang masih tergolong muda.
"Perempuan yang berusia muda hari ini, lebih disibukkan untuk mempercantik diri tanpa berupaya untuk mempercantik isi pikirannya," tutup Diana. (sandika)







Leave a Reply