SANDIKA WIJAYA
Wartawan psiaceh.or.id/
(Sebuah Catatan di diskusi rutin Malam 27-an yang digelar Alumni UKMBS Unila (KAULA)
SILANG pendapat mewarnai diskusi rutin Satu Malam Dua Tujuan (27-an). Pembicaraan seputar seni, pemuda, dan pergerakan berkembang dari satu titik ke titik lain hingga malam perlahan larut.
Dialog satu bulan sekali setiap tanggal 27, sudah berlangsung dalam dua tahun terakhir itu, menghadirkan tiga pembicara dengan konsentrasinya masing-masing, Ari Pahala Hutabarat (Pemerhati Budaya), Neri Juliawan (Aktivis Kaula), dan Chepry Chairuman Hutabarat (Pendiri Klasika).
Sebelum diskusi yang ramu Keluarga Alumni UKMBS Unila (KAULA) itu dimulai, Grub Musik Orkes Bada Isya menghangatkan suasana Graha Kemahasiswaan Universitas Lampung (Unila) dengan beberapa tembang lagu, Selasa (27/06/2023) malam.
[elementor-template id=”11″]
Peran Seni dan Pemuda
Dalam kesempatan tersebut Ari Pahala Hutabarat mengatakan, watak mendasar dari seni adalah mengkritisi dan menggugat. Bahkan, pada tingkatan yang lebih jauh seni memiliki karakter untuk menawarkan cara pandang baru dalam melihat realitas.
Menurut bang Ari, begitu sapaan akrabnya, seni yang keren bukan hanya memotret realitas, apatah lagi hanya mengafirmasi kenyataan, tidak seperti itu sipat dari seni. Seni merupakan lawan tanding dari realitas, dan menawarkan kenyataan yang berbeda dari peristiwa sehari-hari.
“Fungsi seni sebagaimana diataslah yang memunculkan seni eksprimental, kontemporer, avangad dan lain-lain,” ungkap Bang Ari.
Bang Ari berpendapat, seni dan pemuda meski dua makhluk yang berbeda, sesungguhnya memiliki karakter sama yang identik dengan menolak kemapanan hingga mempertanyakan ulang realitas.
Pemuda, sambung Bang Ari, sebagaimana yang tercatat dalam banyak sejarah, kerap memotori gerakan revolusi.
[elementor-template id=”13″]
Ia mencontohkan dengan Bung Karno, Tan Malaka, Bung Hatta cs yang sejak muda sudah menjadi tokoh politik Nasional. Menurutnya tanpa pemuda-pemuda yang memiliki watak revolusioner, progresif, berani serta rock n roll Republik Indonesia tak akan lahir.
Menurutnya, selain seni dan pemuda yang memiliki karakter memberontak, intelektual juga kerap memiliki sifat perlawanan. Intelektual harus menentukan keberpihakan pada tataran kritis, karena intelektual selalu pada posisi tidak netral.
Meski pada kenyataan hari ini, lanjut bang Ari, baik Seniman, Pemuda dan Intelektual sipat kritisnya semakin menjauh. Bahkan, terdapat penghianatan-penghianatan Intelektual.

Pentingnya sebuah Imajinasi
Seperti yang tercatat dalam sejarah Indonesia, momentum Sumpah Pemuda 1928 merupakan tonggak awal pemuda memiliki visi baru secara nasional. Sebelumnya masih bersifat lokal.
Hal sebagaimana diatas disampaikan oleh Neri Juliawan salah satu pembicara dalam diskusi tersebut. Ia melanjutkan, pemuda-pemuda pada masa itu, mempunyai kesadaran atas nasibnya. Kesadaran tersebut muncul karena terdapat dialog dengan realitas.
“Jika tidak ada pembacaan terhadap realitas atau menerima dengan begitu saja kenyataan yang dialaminya maka tidak akan muncul perlawanan,” lanjutnya.
Ia menilai penting bagi seseorang memiliki imajinasi. Imaji apa yang ingin kita capai dan realitas seperti apa yang akan dibentuk, hal tersebut mendorong untuk bergerak.
Namun sayangnya, ia melihat ada penyeragaman imaji atau mimpi yang dikonstruk kepada masyarakat.
[elementor-template id=”13″]
[elementor-template id=”11″]
“Terdapat selera bersama yang dibentuk ke masyarakat, mulai dari berpakaian, makanan, tontonan, game dan lain-lain,” terang bang Nery.
Ia beranggapan, imajinasi datang dan tumbuh tidak dengan sendirinya, hal tersebut mensyaratkan pembacaan terhadap realitas dan kemampuan intelektualitas yang mumpuni.
Menurutnya, imajinasi merupakan sesuatu yang sangat penting, negara-negara bahkan agama sekalipun lahir karena sebuah imajinasi.
Pemuda menurutnya ada dalam sebuah proses bak sebuah tanaman yang terus bertumbuh dan berkembang. Bukan satu capaian yang selesai.
Seperti orang-orang besar terdahulu, sambungnya, masing-masing dari mereka memiliki obsesi terhadap sesuatu diluar dirinya, yang besar dan yang bermanfaat untuk orang lain.
Prinsip atau Hukum Sebuah Gerakan
Chepry Chairuman Hutabarat memulai pembicaraan dengan sebuah kaidah dalam islam yang berarti “Barang siapa yang tidak memiliki guru, maka setanlah gurunya”.
Menurut Bang Che, Guru diluar, yang mewujud dalam bentuk manusia hanyalah perantara untuk menemukan guru didalam dirinya masing-masing.
“Jika kita abai terhadap peran penting seorang guru, maka tidak akan lahir sebuah pemberontakkan dan gugatan terhadap realitas,” terangnya.
Pergerakan menurutnya berasal dari kata Gerak yang berarti perpindahan sesuatu atau benda dari satu posisi ke posisi yang lain. Setiap gerak pun memiliki hukumnya.
Dalam teori Newton, terdapat tiga hukum gerak, lanjut Bang Che, Pertama hukum kelembaman/inersia, yang mengatakan, jika suatu benda diam maka akan cenderung diam, jika suatu benda bergerak maka memiliki tendensi untuk bergerak.
“Apa yang membuat sesuatu bergerak, karena terdapat sebuah tarikan atau dorongan, tanpa itu tidak akan bergerak,”ungkapnya.
Bang Che melanjutkan, hukum Newton yang kedua, sesuatu atau benda bergerak, kecepatannya tergantung dorongan yang diterima, begitupun sebaliknya.
[elementor-template id=”13″]
[elementor-template id=”11”]
Sementara hukum yang terakhir, sambung Bang Che, adalah aksi-reaksi. Setiap sebuah aksi yang dilakukan maka akan menimbulkan reaksi yang berlawanan.
Hukum Newton sebagaimana diatas menurutnya menjadi penting karena berlaku bagi setiap manusia.
Ia juga menilai, respon dan sikap kritis terhadap realitas mensyaratkan perpindahan kesadaran. Tanpa itu, manusia hanya akan terjebak pada sebuah situasi ketaksadaran.
“Situasi ketaksadaran dimungkinkan berubah memerlukan peran guru untuk mengetuk-ngetuk dan melepaskannya dari kubang ketaksadaran,” kata bang Che.
Ia berpendapat, dalam arus sejarah Indonesia terdapat dua kutub besar yang saling berlawanan yakni Komunisme dan Kapitalisme. Oleh karena itu setiap unsur gerak saat itu terinfluence.
“Sejak Tembok Berlin runtuh dan Soviet berubah menjadi Rusia, Kapitalisme menjadi pemain tunggal dan tidak mendapatkan lawan sebanding,”paparnya.
Hal tersebut menurutnya menyebabkan musuh dari unsur gerak menjadi kabur. Sehingga memicu kegamangan dan kepanikan.
Ia juga menilai, terdapat sebuah fenomena baru yang menjangkiti kaum muda, yang secara biologis masih muda namun pemikiran sudah seperti orang tua.
Pemuda, lanjut Bang Che, bukannya belajar sungguh-sungguh dan membangun jejaring yang luas justru disibukkan dengan persoalan mencari uang.
[elementor-template id=”13″]
[elementor-template id=”11”]
Hal itu menurutnya tidak terlepas dari pengaruh teknologi yang menyebabkan masyarakat menjadi individualis dan konsumtif.
Pemuda hari ini juga, tambah bang Che, meski sudah membaca buku banyak-banyak hingga rutin mengikuti sebuah diskusi, namun pengetahuan tersebut tidak mengendap dan menjadi laku.
Hal tersebut, tegasnya, seperti kata Slavoj Zizek Kita bukanlah kekurangan pengetahuan tetapi tindakan kita kekurangan informasi dari pengetahuan yang dimiliki. (***)







Leave a Reply