psiaceh.or.id/ – Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Lampung melaksanakan Diskusi Publik dengan mengangkat tema “Medsos Bukan Produk Pers”, bertempat di Gulden Tulip, Lampung Kamis (27/07/2023).
Hadir dalam kesempatan diskusi tersebut, Gubernur Lampung yang diwakili Sekretaris Daerah (Sekda), Anggota DPRD Provinsi Lampung, Lembaga Pemilu, Akademisi, Basarnas, Insan Pers, Pemerhati dunia digital, KNPI, OKP hingga Mahasiswa.
Ketua Pelaksana diskusi, Aryadi Ahmad mengatakan, kegiatan tersebut merupakan salah satu rangkaian Hari Pers Nasional (HPN) di daerah.
Sebelumnya PWI Lampung telah menziarahi sejarah, dengan mendatangi makam para Ketua PWI terdahulu, kemudian menginisiasi Sumatera Clean Up Get In Action, sebuah kegiatan bersih-bersih pantai.
[elementor-template id=”13″]
[elementor-template id=”11″]
Menurut Aryadi, penggunaan internet yang terbilang masif dalam kehidupan masyarakat Indonesia, selain memberi nilai positif juga memberi akses yang negatif yang tak kalah berbahayanya.
Ia menilai, akses negatif tersebut kerap menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat atau dalam istilah lain disebut misleading (penyesatan informasi). Sehingga mengarahkan masyarakat pada disinformasi.
Ia menyebutkan, untuk mengatasi persoalan sebagaimana diatas literasi digital harus menjadi pendidikan di tengah masyarakat.
“Literasi digital itu juga, bertujuan untuk menghilangkan noice-noice di media sosial, sehingga proses pembangunan bisa dilakukan dengan maksimal,” ujarnya.
[elementor-template id=”13″]
[elementor-template id=”11″]
Aryadi menambahkan, insan pers merupakan pelaku utama dalam melakukan kritik, hampir setiap hari, pers selain memberikan edukasi ke masyarakat, juga melakukan kritik.
“Tapi kami tidak bisa membendung narasi pendek yang menjadi noiz di media sosial,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua PWI Lampung Wirahadikusumah dalam sambutannya mengatakan, agenda ini bertujuan untuk menekankan kepada publik, bahwa media sosial bukanlah produk jurnalistik.
Media sosial menurutnya tidak berbadan hukum, sementara Pers memiliki badan hukum. Produk yang dihasilkan oleh kedua hal tersebut juga berbeda, jika media sosial menghasilkan informasi, sedangkan Pers menghasilkan berita.
“Oleh karena itu, harus dibedakan mana produk Pers dan media sosial. Jika informasi, semua orang bisa menciptakan akan tetapi jika Pers terdapat tanggungjawabnya dan bisa ditelusuri siapa penulis berita yakni seorang wartawan,” ungkapnya.
[elementor-template id=”13″]
[elementor-template id=”11″]
Ia menyebutkan, seorang wartawan terkait erat dengan kompetensi, sehingga yang menciptakan berita ke publik bisa diketahui penulisnya.
Sementara seseorang yang menciptakan informasi di sosial media bisa menyamarkan identitas dan memalsukan dirinya atau dalam istilah lain disebut buzzer.
Hal ini menurutnya merupakan salah satu kegelisahan pihaknya, ia khwatir masyarakat memandang media sosial sebagai produk jurnalistik. Sementara produk jurnalistik adalah fakta bukan gosip. Fakta dalam jurnalistik adalah berita yang sudah melalui cek ricek.
Oleh karena itu, lanjut Wira, PWI Lampung mengajak seluruh wartawan untuk menjadi cleaning cosh atau sebagai pencuci informasi yang menyesatkan.
Wartawan dituntut untuk melakukan pemastian fakta dari informasi yang beredar di tengah masyarakat. Metode yang dilakukan wartawan biasanya dilakukan dengan cek, ricek, dan triple cek.
[elementor-template id=”13″]
[elementor-template id=”11″]
Sementara, Gubernur Lampung atau yang diwakili oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Pemprov Fahrizal Darminto yang dalam kesempatan tersebut sekaligus membuka acara mengapresiasi kegiatan yang digagas oleh PWI Lampung.
Menurutnya Pemerintah Lampung mengapresiasi kegiatan tersebut, sebagai media memperkaya cakrawala berpikir sekaligus sebagai ruang bertukar informasi.
Ia menilai, semangat pembangunan oleh pemerintah tidak bisa dipisahkan dengan insan pers, sebab kehadiran insan pers lah informasi-informasi sampai kepada masyarakat.
“Kita harus membangun suatu wadah yang sehat sehingga masyarakat bisa mendapatkan informasi yang benar dan informatif,” ujarnya.
Menurutnya bagaimana mungkin masyarakat Lampung akan berjaya, jika terpapar informasi yang tidak baik dan menyesatkan.
Kekayaan tersebut akan tercapai manakala masyarakat memiliki kecerdasan. Kecerdasan itu mensyaratkan mengkonsumsi informasi yang benar.
[elementor-template id=”13″]
[elementor-template id=”11″]
Dalam diskusi, Wakil Ketua Dewan Pers, Muhamad Agung Dharmajaya mewarning institusi pemerintah yang mengelola Medsos, sebab memiliki konsekuensi hukum.
“Rekan-rekan di pemerintahan harus dapat membedakan antara informasi dengan berita,” kata Agung pada diskusi yang dihelat PWI Lampung di Golden Tulip, Kamis (27/06/2023).
Menurutnya, semua orang atau pihak dapat saja mengabarkan informasi melalui medsos. Tapi perlu diingat peran tersebut tidak sama kedudukannya dengan media massa di mata hukum.
“Informasi melalui medsos dapat digugat secara pidana. Sedangkan informasi yang dikemas sebagai berita dan disebarluaskan melalui media massa memiliki pendekatan berbeda,” kata dia.
Jika ada gugatan terhadap berita di media massa, lanjutnya, jalurnya bisa diselesaikan ke Dewan Pers. Karena Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers memang mengatur itu.
[elementor-template id=”13″]
[elementor-template id=”11″]
Sedangkan medsos yang notabene bukan perusahaan media atau media massa, tidak termasuk ke dalam ketentuan tersebut. Di sini letak tegas pembeda antara medsos dan media massa.
Berdasarkan UU Pers Bab II Pasal 3 ayat 1 disebutkan, pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
“Jadi kalau media massa mempublikasikan berita, itu memang sudah diatur dan dijamin oleh Undang-Undang,” ujarnya.
Bahkan, tambahnya, bila ada pihak yang menghalangi pemberitaan akan berhadapan dengan konsekuensi hukum. Ketentuan seperti ini tidak berlaku untuk informasi melalui medsos.
“Berhati-hatilah dalam ber-medsos,” pesan Agung.
[elementor-template id=”13″]
[elementor-template id=”11″]
Dirinya lantas memberi contoh kasus tuntutan yang pernah merundung YouTuber Deddy Corbuzier yang muatan konten di akun YouTube-nya digugat pidana oleh seseorang. “Dewan Pers tidak dapat mendampingi lantaran akun YouTube bukan termasuk media massa,” ungkapnya.
Demikian pula, sambungnya, dengan akun medsos yang dikelola oleh instansi pemerintah. Karena berbasis medsos, maka juga rentan terhadap gugatan pidana.
“Harus bisa dibedakan antara humas instansi pemerintah yang sedang menjalankan tupoksinya sebagai public relation dengan pemberitaan. Jangan bias dan menganggap keduanya sama. Tidak. Itu dua hal yang berbeda,” tegasnya.
Agung menyarankan, untuk menghindari konsekuensi hukum yang berpotensi timbul saat memberi informasi, ada baiknya pihak humas instansi berkolaborasi dengan media massa untuk memberitakannya.
“Informasi yang disampaikan media massa melalui berita tentu telah menerapkan ketentuan yang berkesesuaian dengan Undang-Undang Pers dan kode etik jurnalistik. Misalnya saja, akan ada konfirmasi atas informasi yang dipublikasikan. Itu peran media massa,” papar Agung.
“Tapi kalau humas instansi pemerintah menyampaikan sosialisasi di medsos mereka, lalu ada orang atau pihak tertentu yang merasa keberatan atau dirugikan dengan isi informasi tersebut, ini berpotensi dibawa ke ranah hukum,” imbuhnya.
[elementor-template id=”13″]
[elementor-template id=”11”]
Dirinya juga menghimbau kepada penyelenggara pemilu (KPU) Lampung dan kabupaten/kota agar turut memberi edukasi kepada partai atau calon legislatif dan calon kepala daerah agar saat bersosialisasi bisa bekerjasama dengan media massa.
“Ini penting, selain turut menata ketertiban area publik, yang mendekati pemilu biasanya dipenuhi banner sosialisasi bernuansa politik, juga demi menghindari hal-hal yang bisa saja berpotensi hukum. Keberadaan media massa sesungguhnya bisa menjalankan fungsi sosialisasi itu,” tutupnya. (sandika)






Leave a Reply