psiaceh.or.id/ – Jurmalis Senior Najwa Shihab tampil memukau di hadapan mahasiswa dan civitas akademika Universitas Lampung di agenda yang digelar oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Ilmu Komunikasi Universitas Lampung (Unila) bertajuk “Indonesia Butuh Anak Muda”, Jumat (22/09/2023)
Founder NarasiTV yang dikenal dengan gaya pertayaan pedas itu sempat membacakan Catatan Najwa di ahir sesi.
Di sesi tanya jawab, putri sulung Ulama Besar Qurais Sihab itu berbicara banyak seputar peran mahasiswa dalam politik dan dinamika politik saat ini.
[elementor-template id=”13″]
[elementor-template id=”11″]
Pemilih Harus Cerdas dan Kritis
Perempuan yang akrab disapa Nana itu mengatakan, sebagai mata pilih mahasiswa harus memiliki referensi untuk memilih calon pemimpin di Pilpres mendatang. Hal ini yang akan membedakan pemilih cerdas dan kritis dengan pemilih yang bergantung dengan emosi.
Ia menyakini mahasiswa adalah kumpulan orang cerdas dan kritis. Sehingga untuk menentukan pilihannya sangat berhati-hati dan betul-betul membandingkan mana calon pemimpin yang tepat.
“Mahasiswa bukanlah orang yang baper, ketika menemukan teman dekatnya berbeda pilihan politik. Sudah terlalu lama, kita seolah-olah menormalkan jika pilihan politik berbeda maka akan berbeda semua,” kata Nana.
Ia percaya, kualitas demokrasi ditentukan oleh seberapa besar keterbukaan masyarakat terhadap perbedaan.
[elementor-template id=”13″]
[elementor-template id=”11″]
Menurutnya terdapat banyak sekali persamaan, ketimbang satu perbedaan pilihan politik. Dibanyak kasus banyak orang berbeda politik lantas bermusuhan seumur-umur.
“Padahal koalisi yang saling bertarung saat ini, ketika Pemilu selesai, kembali baikan, menjalankan kekuasaan bersama-sama. Sementara warga kerap kehilangan persahabatan, bermusuhan hanya oleh perbedaan pilihan politik,” tuturnya.
Ia mengajak masyarakat terutama mahasiswa untuk tidak baper dikarenakan pilihan politik berbeda. Jadi, mari sadar dan kritis untuk menentukan pilihan politik dan jangan baper karena politik.
[elementor-template id=”13″]
[elementor-template id=”11″]
Perbincangan Politik Cenderung Elitis
Saat ini, lanjut Nana, perbincangan politik di publik disesaki oleh isu-isu elitis dan berkutat seputar Capres-Cawapres. Seperti siapa berpasangan dengan siapa, siapa koalisi dengan siapa, siapa Koalisi yang ditinggal kawin dengan koalisi lain, hingga bursa Cawapres siapa yang tepat.
“Sementara Pemilu tinggal 140 harian lagi dan belum ada yang berbicara gagasan. Kalaupun ada hanya sepotong-sepotong,” ujarnya.
Ia melanjutkan, hingga saat ini belum ada yang menunjukkan ke publik apa progam yang akan dilakukan ketika menjadi presiden, seperti apa program melihat biaya pendidikan semakin mahal, komitmen pemberantasan korupsi.
“Hal ini kan isu-isu penting yang seharusnya diketahui oleh publik. Namun pembicaraan di publik masih minim,” ucapnya.
[elementor-template id=”13″]
[elementor-template id=”11″]
Karena itu, kata dia, Mata Najwa berkolaborasi dengan UGM melaksanakan Bacapres bicara gagasan, belum lama ini, agar di publik ada gagasan yang ditawarkan oleh Bacapres.
“Dengan berbicara gagasan, publik bisa menilai apa yang ditawarkan oleh ketiga Bacapres,” tegasnya.
Hal ini, tambah dia, agar publik memilih calon pemimpin berdasarkan patokan, seperti melihat dari program dan gagasan hingga karakter dan rekam jejaknya.
“Ini penting, sebab publik bisa memiliki keyakinan bahwa Bacapres yang ia pilih bisa menjalankan janji-janjinya. Minimal ada tiga patokan untuk memilih pemimpin yakni melihat Program, rekam jejak, dan karakter,” tuturnya.
[elementor-template id=”13″]
[elementor-template id=”11″]
Ajak Bacapres Bercermin di Kaca
Najwa menceritakan, di akhir kegiatan “Bacapres Bicara Gagasan” yang digelar oleh Mata Najwa bersama UGM, ketiga Bacapres diajak berbicara didepan cermin.
Menurut Nana, ia bersama panitia menginginkan ketiga calon pemimpin melakukan refleksi didepan cermin. Kemampuan reflektif sangat penting untuk calon pemimpin.
Kegiatan reflektif identik dengan berkaca, butuh seseorang yang punya kerendahan hati untuk mensyukuri apa yang ia miliki dan apa kekurangan didalam dirinya.
Kita membutuhkan pemimpin yang memahami dirinya, bukan hanya memahami rakyatnya dan suara pemilihnya. Sehingga calon pemimpin tersebut mantap melaju ke arah masa depan.
“Itulah filosofi kenapa dihadirkan refleksi didepan cermin. Ketiga calon pemimpin sudah terlalu sering berbicara dengan rakyatnya, namun kita ingin tahu ketika ketiga Bacapres berbicara dengan dirinya,” ujarnya.
[elementor-template id=”13″]
[elementor-template id=”11″]
Perbincangan Politik Masih Abai Terhadap Isu Lokal
Nana menghawatirkan perbincangan publik yang di dominasi diisi oleh isu nasional. Sehingga terdapat potensi kurang memperhatikan calon pemimpin yang akan bertarung ditingkat daerah dan kota.
“Saat ini, perbincangan hanya seputar Capres-cawapres. Padahal di Pemilu mendatang terdapat pemilihan legislatif dan setelahnya akan ada Pilkada,” kata dia.
Kebijakan pemerintah ditingkat daerah dan kota, tambah Nana, sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat yang menempati di daerah itu sendiri.
“Nanti Pemilu kita memilih calon pemimpin yang mengatur kebijakan di daerah yang berhubungan langsung dengan kehidupan sehari-hari kita. Karena itu perlu diperhatikan, justru yang terpenting,” ujarnya.
Media dan mahasiswa diharapkan fokus terhadap isu-isu calon pemimpin ditingkat lokal. Mata pilih harus menjadi subjek bukan objek dalam politik.
[elementor-template id=”13″]
[elementor-template id=”11″]
Jangan Golput, Haramkan Money Politik
Nana melanjutkan, warga negara hanya memiliki suara. Sementara negara memiliki semuanya, seperti kekuasaan, senjata dan uang. Karena itu gunakan hak suara di kotak suara.
Ia pun menyebutkan terlalu mahal hak suara warga dalam 5 tahun sekali hanya dipertukarkan dengan uang, jilbab, hingga kaos partai.
“Warga negara hanya memiliki suara dan sayang jika tidak digunakan. Apatah lagi hanya menggunakan dalam 5 tahun sekali. Karenanya penting mengawal kebijakan dan terus bersuara, hingga memberi kritik. Karena hanya itu yang dimiliki oleh warga, yakni suara,” ungkapnya.
Kekuatan suara akan semakin besar jika digelontorkan bersama-sama. Saat ini terdapat teknologi yang memungkinkan suara kita tersebar lebih luas, hingga ke pelosok.
[elementor-template id=”13″]
[elementor-template id=”11″]
Meski Nana tidak menafikan, masyarakat cenderung abai terhadap politik dan di taraf tertentu muak melihat dinamika politik. Namun sekali ia menyebutkan hanya suara yang dimiliki oleh warga.
“Teknologi digital saat ini juga, merupakan elemen penting untuk menggaungkan suara yang tidak memiliki oleh generasi dulu,” kata dia.
Kebebasan Berpendapat
Hasil survei menunjukkan sebesar 65 Persen masyarakat takut untuk menyuarakan pendapat. Dengan rata-rata usia 40 tahun ke bawah.
Ketakutan bersuara semestinya bisa dikelola bersama-sama. Apalagi mahasiswa memiliki kemampuan untuk mengelola informasi. Karena itu mahasiswa memiliki instrumen untuk mengelola ketakutan bersama.
Nana menilai, kampus harus menjadi tempat kebebasan berpendapat dan menguji seragam pendapat yang berbeda.
“Pada prinsipnya saya percaya kampus harus menjadi tempat kebebasan berpendapat. Karena kampus adalah tempatnya intelektual. Bahkan satu-satunya tempat,” tuturnya.
“Kampus baginya bukanlah tempat untuk memenjarkan perbedaan,” trgasnya.
[elementor-template id=”13″]
[elementor-template id=”11″]
Siapkan Matriks
Peserta diskusi, turut menanyakan pilihan politiknya pada Pilpres mendatang. Menanggapi hal tersebut, ia mengatakan saat ini masih menunggu untuk melengkapi matriks yang ia isi.
Ia menyebutkan telah menyiapkan matriks untuk menentukan pilihannya. Hingga menunggu putusan final pasangan Capres-Cawapres secara lengkap agar memiliki perbandingan.
Selain itu, ia mengatakan pilihan politiknya berdasarkan elektabilitas, program-program yang kongkrit dan realistis. (sandika)






Leave a Reply