30 Persen Keterwakilan Perempuan, Tegas Bagi Parpol, Lunak Bagi Penyelenggara

psiaceh.or.id/ – Undang-undang tentang komposisi keanggotaan KPU dan Bawaslu dangan frasa ‘memperhatikan’ keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen menjadi sorotan publik.

Kata ‘memperhatikan’ keterwakilan perempuan paling sedikit 30 Persen tersebut tertuang dalam Pasal 10 ayat 7 dan pasal 92 ayat 11.

Anggota DPRD Lampung Aprilliati menyampaikan keberatannya terhadap interpretasi pada frasa ‘memperhatikan’ tersebut. Menurutnya Kata ‘Memperhatikan’ dijadikan sebagai sebuah alasan tidak adanya keterwakilan perempuan pada lembaga Pemilu.

“Semestinya kata memperhatikan tersebut adalah kewajiban, karena memuat maksud tersirat dan tersurat. Terdapat pesan moral dalam pasal itu untuk memperhatikan keterwakilan perempuan,” kata Aprilliati, Rabu (02/08/2023).

Hal tersebut disampaikan oleh Aprilliati selepas acara dialog publik ‘Posisi Politik Perempuan Hari ini, Pentingkah? yang diselenggarakan oleh Forum Puspa Lampung, Rabu (02/08/2023).
[elementor-template id=”13″]

[elementor-template id=”11″]
“Boro-boro 30 Persen keterwakilan perempuan yang terjadi adalah 0 Persen. Padahal 8 besar anggota Bawaslu Lampung kemarin, terdapat 1 perempuan, mengapa tidak dipertahankan,” ujarnya.

Menurutnya Bawaslu sangat menegaskan terkait regulasi 30 Persen keterwakilan perempuan terhadap Bacaleg di masing-masing Dapil, bahkan mengancam akan mendiskualifikasi jika tidak memenuhi kuota perempuan tersebut. Bahkan kepengurusan partai politik tidak memenuhi 30 Persen keterwakilan perempuan dijadikan problem.

Namun Bawaslu abai terhadap lembaganya sendiri, dengan menginterpretasikan frasa ‘memperhatikan’ bukanlah sebagai sebuah kewajiban.

Menurutnya juga upaya peningkatan partisipasi dan keterwakilan perempuan boleh saja untuk terus disuarakan. Namun langkah yang paling ampuh adalah manakala Kaukus Politik Parlemen dan Non Govermental Organization (NGO) perempuan mengirim rekomendasi ke Bawaslu Pusat, DPR RI, dan Kemendagri.

“Rekomendasi tersebut agar frasa dalam aturan tentang makna pasal 10 ayat 7 dan pasal 92 ayat 11 bisa diperjelas, jika aturan tersebut banci dan mandul mending dihapuskan saja frasaya,” ujarnya.
[elementor-template id=”13″]

[elementor-template id=”11″]
Ia menilai, kedepan perlu terdapat regulasi yang tegas. Sebagaimana tujuan dibuatnya undang undang-undang adalah untuk keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

“Jika undang-undang tersebut tidak membawa manfaat yang baik bagi perempuan dan di intervetasikan dengan macam-macam mending di revisi saja,” tuturnya.

Ia lantas mencontohkan dengan regulasi Parpol yang mewajibkan 30 Persen keterwakilan perempuan dalam struktur kepengurusan pusat. Mengapa Bawaslu tidak mengunakan Frase ‘mewajibkan’ dan bukan memperhatikan.

Ia mengatakan semua pihak memiliki hak konstitusional yang sama untuk memperjuangkan undang-undang keterwakilan perempuan tersebut. Karena itu harus terus disuarakan, apakah akan dikabulkan, hal itu kan terdapat mekanisme-mekanisme tersendiri.

Ia menilai tidak adanya keterwakilan perempuan dalam dua tahapan yaitu 2022 dan 2023 kemarin, bukan dikarenakan perempuannya tidak kafabel atau tidak berpengalaman. (sandika)