Alumni PMII Jadi Guru Besar Termuda Unila

Prof Rudy Contoh Aktivis Sukses Akademis

TINGGAL menghitung hari Prof Rudy S.H., LL.M., LL.D akan dikukuhkan menjadi guru besar bidang hukum.

Menariknya, Wakil Rektor II Bidang Umum dan Keuangan Universitas Lampung (Unila) ini, akan menjadi guru besar termuda di kampus hijau tersebut dengan usia masih 42 tahun.

Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) itu menjadi guru besar ke-111 Unila, dan guru besar ke-8 Fakultas Hukum Unila.

Anak muda Nahdlatul Ulama (NU) itu akan dikukuhkan sebagai guru besar di di GSG Unila pada Rabu (25/10/2023) dan akan membacakan orasi ilmiah berjudul “Pembangunan Hukum Indonesia di Persimpangan Jalan : Refleksi 4 Abad Pembangunan Hukum di Nusantara.”

Diketahui, menjadi guru besar adalah puncak karir dari seorang akademisi. Karena itu, Prof Rudy tentu terbilang sukses dalam dunia akademis. Tetapi tak hanya itu, Rudy juga dikenal sebagai seorang aktivis.

Saat masih menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Rudy aktif di organisasi mahasiswa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

Tidak hanya aktif sebagai kader PMII, Rudy juga tercatat sebagai majelis pembina komisariat (Mabinkom) PMII Unila sejak 2019-sekarang.

Ia juga, sempat menjadi Ketua Lakpesdam PWNU Lampung pada tahun 2015-2020.

Sejak masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) kecerdasan Rudy di bidang akademis sudah terlihat.

Rudy sering meraih juara di kelas dan jadi wakil provinsi Lampung di lomba cepat tepat (LCT) tingkat nasional.

Ia pun menceritakan alasannya menempuh studi hukum. Hal ini menurutnya tak terlepas dari profesi sang ayah yang merupakan seorang Jaksa. Sementara ibunya seorang guru.

“Jadi ini memang gabungan. Papa saya Jaksa, ibu saya Guru SD. Jadilah saya pendidik di bidang hukum. Dulu pernah mau jadi Jaksa juga tapi karena ada perjalanan batin yang tak bisa diungkapkan akhirnya saya memilih jadi pengajar,” ujarnya, saat diwawancarai belum lama ini.

Di masa perkuliahan, Rudy tetap meraih berbagai prestasi gemilang. Bahkan jadi lulusan terbaik Fakultas Hukum UI tahun 2003. Ia pun langsung menjadi dosen atau tenaga pendidik di Unila pada tahun yang sama.

“Dulu sebelum tahun 2005, dosen itu masih bisa lulusan S1. Jadi saya ikut tes PNS dosen tahun 2003 dan lulus. Jadi sudah 20 tahun mengabdi sebagai dosen Unila,” kata dia.

Pria kelahiran Teluk Betung, 4 Januari 1981 ini melanjutkan study S2 serta S3 di Kobe University Jepang dan lulus pada tahun 2012 pada usia 30 tahun.

Di tahun 2012, Rudy menjadi Ketua Jurusan Hukum Tata Negara (HTN) Unila sampai dengan tahun 2016.

Selama periode itu Rudy juga menjadi Ketua Timsel KPU Provinsi Lampung tahun 2014 dan Bawaslu Provinsi Lampung tahun 2016.

Rudi lalu menjadi Ketua Lembaga Penelitian Unila tahun 2020 hingga akhirnya dipercaya menjadi Wakil Rektor II Unila.

Kini Prof Rudy hanya tinggal menunggu pengukuhan sebagai guru besar Unila empat hari lagi.

Untuk mencapai gelar guru besar ini, ia mengaku banyak hal yang harus dilalui. Bahkan pernah mengalami penolakan dari Kementerian karena adanya perbedaan penafsiran jurnal.

“Dulu sempat ditolak sekali. Saat ini menurut reviewer itu tidak sesuai. Jadi ada penilaian dari Kementerian yang berbeda. Misalnya ada yang menilai bagus ada yang tidak. Ada yang menilai ini sesuai ada yang tidak. Jadi saya setahun prosesnya,” jelas dia.

“Tapi saya tenang, kalau ada revisi saya terima. Saya perbaiki lagi,” tambahnya.

Dengan capaian gelar guru besar yang kini diraihnya. Rudy pun berpesan kepada seluruh mahasiswa agar agar jangan takut untuk bermimpi. Selalu berupaya tingkatkan kemampuan dan kualitas diri.

Karena Tuhan tidak pernah membatasi kemampuan manusia untuk meraih sesuatu yang lebih baik. Justru pemikiran manusia itu sendiri yang seringkali membatasi potensinya untuk berkembang.

“Pencipta kita Allah itu tak pernah membatasi kita. Kemampuan kita tidak terbatas sebetulnya, cuma kita aja kadang yang berpikir tidak mampu. Minset seperti itu yang harus dihilangkan,” jelasnya.

“Jadi mahasiswa harus bisa bekerja keras mencapai cita-citanya. Bahkan sampai sekolah jauh ke luar negeri. Mahasiswa harus lebih berani dan PD untuk menembus apa yang kita cita-citakan,” ungkap Rudy.

Selalu Berfikir Positif dan Optimis

Saya salah satu orang yang sangat mengenal Prof Rudy. Median 2022 beliau menghubungi saya untuk sekedar berbincang. Saat itu, kebetulan saya berhalangan dan baru saya temui beliau dua hari setelahnya.

Saya pikir beliau akan marah, sebagaimana senior pada umunya, selalu memakai rumus pasal satu. Kala itu beliau masih menjabat sebagai sekretaris LPPM Unila.

Di luar prediksi, beliau menyambut saya dengan senyum ramah. Hampir empat jam kami lalui dengan percakapan serius tapi santai.

Salah satu poin dalam percakapan kami kala itu adalah niatnya mendorong Prof Lusi maju pada Pilrek Unila. Saya ditugasi beliau untuk menulis profil Prof Lusi agar khalayak mengenal jagoannya tersebut.

Ya, begitulah Prof Rudy, sosok yang serius tapi santai itu selalu mengajarkan pada saya tentang berfikir positif dan optimisme.

“Ri saat ini Prof Lusi mengantongi tujuh suara. Kita butuh 20 suara lebih untuk bisa menang. Tapi saya meyakini Prof Lusi akan menang,” katanya kala itu.

Saat itu saya terperangah. Bagaimana mungkin tujuh suara bisa menang, sementara saat itu lawan Prof Lusi begitu kuat. Tapi, melihat raut wajah optimis dari Prof Rudy (kala itu masih bergelar doktor), keyakinan itu tumbuh dan saya pun ahirnya banyak melalukan improvisasi.

Tidak hanya menulis tentang citra baik Prof Lusi, saya juga melakukan riset kecil-kecilan dengan mewawancarai sejumlah anggota senat dan tokoh-tokoh kampus kala itu. Kesimpulannya, saya pun optimis Prof Lusi akan menang.

Tokoh Muda Visioner dan Ahli Hukum
Di tengah kesibukannya sebagai Wakil Rektor II Unila, Prof Rudy masih menyempatkan diri untuk menjadi pembicara

Prof Rudy adalah putra daerah Lampung yang menyelesaikan program doktornya di Kobe University Japan tahun 2011.

Pria kelahiran Telukbetung 4 Januari 1984 itu adalah putra dari pasangan Lukman Hakim (alm) dan Saniah.

Sejak menjabat sebagai Sekretaris LPPM terlebih sekarang sebagai Wakil Rektor II Unila, Prof Rudy banyak sekali menelurkan ide dan gagasan, baik yang telah dilakukan atau yang masih dalam proses.

Unila beruntung memiliki Prof Rudy. Ya, penulis jurnal “Evaluasi Pemilu Serentak 2014 di Provinsi Lampung” itu memahami betul bagaimana sistem hukum di indonesia.

Menurutnya, sistem hukum di Indonesia seperti Kitab Hukum Undang-Undang Pidana serta Kitab Hukum Undang-Undang Perdata merupakan warisan dari era penjajahan Belanda.

Akibatnya Indonesia tidak memiliki sistem hukum sendiri yang merupakan produk sendiri yang dapat mengakomodir hal-hal bersifat adat dan budaya.

Hukum adat yang tidak masuk dalam tata hukum tertulis di Indonesia. Padahal system hukuk yang berasal dari luar negeri belum tentu sesuai dengan kondisi sosial dan budaya di Indonesia.

“Sejak kemerdekaan juga hukum kita transplantasi. Jadi hukum adat kita menjadi hilang. Terlebih lagi sekarang ini zaman globalisasi begitu mudah mengambil hukum dari barat ke Indonesia,” jelasnya.

Ia menconthokan salah satu produk hukum yang mengadopsi hukum barat adalah sistem sertifikat tanah. Kepemilikan tanah hanya diakui oleh negara apabila memiliki sertifikat. Akibatnya banyak tanah ulayat atau tanah adat yang tidak diakui oleh negara.

“Coba kita lihat tanah ulayat kita tidak di akui, kita mengadopsi hukum barat dengan sertifikat. Padahal kita punya aturan yang berbeda dan aturan itu hilang,” katanya.

Hal itu juga terlihat dalam pembentukan undang-undang cipta kerja katanya, kekacauan terjadi karena berbagai aturan dijadikan satu dengan nama undang-undang omnibus law.

“Undang-undang cipta kerja itu mengacaukan legislasi yang menggabungkan berbagai macam aturan sehingga kita bingung bacanya,” bebernya.

Rudy menilai, pada masa yang akan datang akan sulit membentuk hukum orginal dari Indonesia. Hal itu bukan tanpa sebab, kemajuan globalisasi mempermudah akses informasi dari luar untuk diterapkan di Indonesia. Hal itu disebut dengan konvergensi hukum.

Dengan adanya konvergensi hukum itu, para pembuat aturan hukum akan sangat mudah membentuk aturan hukum tanpa melihat aspek sensitifnya.

Prof Rudy memang mendalami betul kompentensinya. Sebagai dosen hukum ia berfikir dan bekerja keras untuk menghasilkan karya monumentalnya itu. Ya, ahirnya ia berhasil membuktikan kepada kita semua bahwa aktivis juga bisa sukses di bidang akademis.

Selamat Prof Rudy, selamat senior!  (tim)